SIDANG-SIDANG
BPUPKI
Pada tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara
peresmian Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan bertempat di
gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar
Negeri), Jakarta. Upacara peresmian itu dihadiri pula oleh dua pejabat Jepang,
yaitu : Jenderal Itagaki (Panglima Tentara Ketujuh yang bermarkas di
Singapura ) dan Letnan Jenderal Nagano (Panglima Tentara Keenambelas yang
baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera Jepang, Hinomaru
oleh Mr. A.G. Pringgodigdo yang disusul dengan pengibaran bendera Sang
Merah Putih oleh Toyohiko Masuda. Peristiwa itu membangkitkan semangat
para anggota dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Sidang BPUPKI
Persidangan BPUPKI untuk merumuskan Undang-undang
Dasar diawali dengan pembahasan mengenai persoalan “dasar” bagi Negara
Indonesia Merdeka. Untuk itulah pada kata pembukaannya, ketua BPUPKI, dr.
Radjiman Wediodiningrat meminta pandangan para anggota mengenai dasar
Negara Indonesia merdeka tersebut. Tokoh yang pertama kali mendapatkan
kesempatan untuk mengutarakan rumusan Dasar Negara Indonesia Merdeka adalah Mr.
Muh. Yamin. Pada hari pertama persidangan pertama tanggal 29 Mei 1945, Muh.
Yamin mengemukakan lima “Azas Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia”
sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ke-Tuhanan;
4. Peri Kerakyatan;
5. Kesejahteraan Rakyat.
Dua hari kemudian pada tanggal 31 Mei 1945 Prof.
Dr. Mr. Supomo mengajukan Dasar Negara Indonesia Merdeka adalah sebagai
berikut :
1. persatuan
2. kekeluargaan
3. keseimbangan
4. musyawarah
5. keadilan sosial
Keesokan harinya pada tanggal 1 Juni 1945
berlangsunglah rapat terakhir dalam persidangan pertama itu. Pada kesempatan
itulah Ir. Sukarno mengemukakan pidatonya yang kemudian dikenal sebagai
“Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan pidato Ir. Sukarno adalah selain berisi
pandangan mengenai Dasar Negara Indonesia Merdeka, juga berisi usulan mengenai
nama bagi dasar negara, yaitu : Pancasila, Trisila, atau Ekasila.
“Selanjutnya sidang memilih nama Pancasila sebagai nama dasar negara. Lima
dasar negara yang diusulkan oleh Ir. Sukarno adalah sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau
peri-kemanusiaan;
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial;
5. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Persidangan pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1
Juni 1945. Sidang tersebut belum menghasilkan keputusan akhir mengenai Dasar
Negara Indonesia Merdeka.
Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia
Kecil yang beranggotakan 9 orang. Oleh karena itu panitia ini juga disebut
sebagai Panitia Sembilan. Anggota-anggota Panitia Sembilan ini adalah sebagai
berikut :
1. Ir. Sukarno
2. Drs. Moh. Hatta
3. Muh. Yamin
4. Mr. Ahmad Subardjo
5. Mr. A.A. Maramis
6. Abdulkadir Muzakkir
7. K.H. Wachid Hasyim
8. K.H. Agus Salim
9. Abikusno Tjokrosujoso.
Musyawarah dari Panitia Sembilan ini kemudian
menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan
Negara Indonesia Merdeka. Oleh Muh.Yamin rumusan itu diberi nama Jakarta
Charter atau Piagam Jakarta. Rumusan draft dasar negara Indonesia
Merdeka itu adalah :
1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan mewujudkan suatu)
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana
Undang-undang Dasar, termasuk soal pembukaan atau preambule-nya oleh
sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Ir.
Sukarno dan beranggotakan 21 orang. Pada tanggal 11 Juli 1945, Panitia
Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui isi preambule
(pembukaan) yang diambil dari Piagam Jakarta.
Persidangan kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 14
Juli 1945 dalam rangka menerima laporan Panitia Perancang Undang-undang Dasar.
Ir. Sukarno selaku ketua panitia melaporkan tiga hasil, yaitu :
1. Pernyataan Indonesia Merdeka;
2. Pembukaan Undang-undang Dasar;
3. Undang-undang Dasar (batang
tubuh)